Di Negara India perayaan yang mirip Galungan dinamai Durgha Puja atau Nawa Ratri atau Vijaya Dasami, yang dilaksanakan sesuai system kalender India yaitu Surya Candra Pramana, pada Sasih Ka Tiga (sekitar bulan September-Oktober). Sumber sastra yang menjadi rujukan dalam pelaksanaan hari raya Galungan, didasari atas 4 (empat) sumber yaitu: 1. Kidung Panji Malat Rasmi, 2. Kitab Pararaton, 3. Kitab Usana Bali (isinya: Mitologi Peperangan Bhatara Indra Melawan Prabhu Maya Denawa), 4. Lontar Sri Jaya Kasunu (isinya: Mitologi Ajaran/Nasehat Bhatari Durga kepada Prabhu Sri Aji Jaya Kasunu sebagai raja Bali).
Kata “Galungan” berasal dari kata “galung” artinya perang atau pertarungan. Dan jatuhnya Galungan pada Wuku Dungulan. Kata Dungulan artinya menyerah kalah, sebagaimana disebutkan dalam petikan Kekawin Bharata Yudha karya Mpu Sedah “…….dungulaning parang muka” artinya hari menyerah kalahnya musuh-musuh manusia.
Jadi Galungan dan Dungulan adalah pertarungan atau perang (Dharmayudha) serta menyerah kalahnya musuh-musuh manusia dari godaan para Bhuta Tiga yaitu Sang Bhuta Dungulan, Sang Bhuta Galungan, dan Sang Bhuta Amangkurat. Jika dapat memperhatikan penanggalan pada Kalender, dari hari Minggu (Redite), Senin (Soma), sampai Selasa (Anggara) pada Wuku Dungulan, terdapat wewaraan yaitu Catur Wara dan Asta Wara yang sama-sama wewaraannya sama munculnya 3 (tiga) kali, yaitu Wewaraan Catur Wara pada bagian Jaya munculnya 3 (tiga) kali yang disebut Jaya Tiga meliputi: Redite Dungulan: jaya, Soma Dungulan: Jaya, dan Anggara Dungulan juga Jaya.
Demikian pula pada Asta Wara muncul Kala 3 (tiga) yaitu mulai Redite Dungulan: Kala, Soma Dungulan: Kala, dan Anggara Dungulan: Kala. Sengaja atau tidak sengaja penempatan wewaraan juga wuku pada hari raya Galungan begitu bersamaan, tentunya oleh para tetua para penyusun terselip makna juga filosofi yang mendalam untuk dikaji dan direnungi bersama.
Dharmayudha Galungan yang bermakna peperangan Dharma (Jaya) dengan Adharma (Kala/Bhuta) Jaya Tiga versus Kala Tiga, yang dimulai dari hari Minggu Dungulan sampai hari Selasa Dungulan, dan kemenangan Dharma diperingati pada Rabu (Budha) Dungulan sebagai puncak perayaan kemenangan. Detailnya adalah pada hari Minggu Dungulan, manusia akan menghadapi Kala/Bhuta Galungan, hari Senin Dungulan, manusia menghadapi Kala/Bhuta Galungan, dan pada hari Selasa Dungulan, manusia menghadapi Kala/Bhuta Amangkurat.
Pertanyaannya adalah apanya manusia yang berperang melawa para Kala/Bhuta itu?. Jawabannya adalah bukan ragawi manusia melainkan batiniah, sikap mental manusia yang disebut dengan hawa nafsu beserta indrawi-indrawinya bergulat dengan godaan-godaan setan.
Jadi memaknai Galungan acap kali dilaksanakan adalah warning peringatan agar manusia eling serta mampu mengendalikan dirinya dari keterbelegguan nafsu jahat, egois serta sifat-sifat negatif lainnya, sekaligus juga meredam keinginan dan ketergantungan pada badan-badan duniawi, sesuai dengan makna Galungan yaitu kemerdekaan, kelepasan, dan kesucian.
Selain kegiatan keagamaan seperti sembahyang ke Pura-pura, juga patut diisi dengan kegiatan sosial kemasyarakatan lainnya seperti berdana punia, dengan tetap meyasa kerthi, juga kegiatan kemanusiaan yang lainnya yang mencerminkan rasa solidaritas sosial dan kesetiakawanan sosial, sehingga memunculkan kembali sifat-sifat kedewataan manusia (Daivi Sampad). Astungkara.
Oleh: Ida Kade Suariloka
Source: Majalah Wartam, Edisi 26, April 2017
Beri Komentar